DP BBM Hari Pancasila 1 Juni 2012 ver. 1
Dimensi: 150px X 150px
Size: 24,6 KB (25.197 bytes)
speed: 12 frame
format: GIF
Available in DP BBM
DP BBM Hari Pancasila 1 Juni 2012 ver. 2
Dimensi: 150px X 150px
Size: 22,9 KB (23.548 bytes)
speed: 12 frame
format: GIF
Available in DP BBM
Animasi Hari Pancasila 1 Juni 2012
Dimensi: 300px X 300px
Size: 86,7 KB (88.863 bytes)
speed: 12 frame
format: GIF
HARI ini, sebagian anak bangsa memperingati hari lahirnya Pancasila. Tepat hari ini, 67 tahun yang lampau, Bung Karno berpidato dalam rapat pertama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Saat itulah, Bung Karno diyakini telah mengenalkan Pancasila, yang kelak dijadikan simbol memperingati lahirnya Pancasila. Namun, kita tidak sedang memperdebatkan soal kebenaran 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila. Sebab, ada yang lebih penting, yaitu sampai sejauh mana ideologi bangsa itu sudah kian ditinggalkan dan ditanggalkan?
Sebab, makin hari perjalanan Republik ini serasa kian jauh dari spirit Pancasila. Bahkan, ada kelompok kecil orang yang tabu atau alergi menyebutkan salah satu pilar bangsa tersebut.
Jangankan dipraktikkan dalam kehidupan nyata, dipidatokan sebagai rujukan berbangsa pun Pancasila kian jarang. Pancasila diperlakukan seperti ornamen usang yang lebih pantas dimuseumkan.
Padahal, sejarah membuktikan bahwa melalui Pancasila-lah bangsa yang majemuk dan multikultur ini masih bisa direkatkan hingga kini. Banyak bangsa lain di berbagai belahan dunia bahkan iri dengan kedalaman falsafah Pancasila tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial itu.
Salah satu dari mereka yang mengagumi Pancasila ialah Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Saat berpidato di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, beberapa waktu lalu, Obama terus terang menyebut Pancasila kekayaan Indonesia yang sangat berharga.
Namun, di negeri yang melahirkan Pancasila itu sendiri, ada anak bangsa yang hendak mengubur dalam-dalam falsafah bangsa itu. Pancasila dikepung oleh oportunisme dan kepicikan.
Oportunisme menggunakan kebangsaan hanya sebagai alat untuk maju sendiri, makmur sendiri, dan menggemukkan pundi-pundi sendiri. Adapun kepicikan mengepung Pancasila melalui sikap memaksakan kehendak kelompok.
Oportunisme menemukan bentuknya secara nyata dalam praktik korupsi, mengangkangi keadilan, bahkan mentransaksikan kekayaan alam demi diri sendiri. Adapun kepicikan berwujud dalam tindakan intoleran, bahkan sampai melakukan kekerasan atas nama keyakinan, etnik, juga kelompok.
Penyakit akut itu muncul, terutama, karena bangsa ini mengalami krisis keteladanan dari pemimpin. Kita kehilangan pemimpin autentik yang menyatu antara kata dan perbuatan. Yang muncul ialah pemimpin yang dipenuhi kepura-puraan demi menjaga citra.
Karena itu, benar kata para pemikir kenegaraan kita bahwa bangsa ini membutuhkan perubahan. Memerlukan revolusi mental kebudayaan, bukan sekadar perubahan di tingkat prosedur dan perundang-undangan.
Langkah besar itu harus dimulai dengan memperkuat pilar kebangsaan, yakni Pancasila. Dasar negara itu harus hadir secara nyata di tengah-tengah masyarakat, bukan hanya lantang dalam parade pidato kenegaraan.
Semua itu jelas memerlukan pemimpin yang inspiratif, yang memiliki grand design mau ke mana bangsa ini dibawa serta memiliki keberanian dan kebersihan untuk mewujudkannya.